PenulisLepas.com, Situsnya Penulis!

Tuesday, April 04, 2006

Buaian Mimpi Televisi

Bagimana jika listrik mati di malam hari? Terlebih ketika kita sedang asyik kumpul bersama keluarga? Tentu saja yang timbul adalah perasaan kesal dan jengkel. Kejengkelannya bukan saja karena keadaan rumah jadi gelap gulita tapi yang lebih parah karena TV kita ikut-ikutan mati. Rasanya, kehidupan ini terasa berhenti kalau TV tidak menyala. Suasana rumah jadi seperti kuburan. Sunyi. Sepi.

Apakah televisi begitu penting dalam kehidupan kita? Sebuah polling yang dilakukan TV Guide menghasilkan kesimpulan yang mengejutkan. Ternyata, satu dari empat orang pemirsa menyatakan mereka begitu lekat pada televisi. Walaupun diberi uang 1 juta dollar untuk tidak menonton televisi mereka tidak mau.

Mengejutkan bukan!

Hasil polling tersebut menggambarkan bahwa televisi telah menjadi bagian hidup dan menyita banyak waktu kita. Bak sebuah sihir, ia menyedot perhatian dan merampas pikiran kita. Lebih dari 20 jam sehari, jutaan pasang mata duduk di depan pesawat televisi, menyaksikan apa pun yang disuguhkannya.

Memang, televisi hanyalah sekotak benda yang hanya memiliki nilai ekonomis tertentu bagi pembuatnya di pabrik-pabrik Sony, Polytron, Samsung, Toshiba, dan juga di pabrik-pabrik lainnya. Tapi ternyata, ketika benda tersebut "dihidupkan", ia berubah menjadi "medium hidup" yang dapat mendikte pemirsa dengan kemampuannya menghipnotis. Sehingga, pemirsa dialienasi dalam agenda setting televisi.

Sekotak benda yang meraih berbagai penghargaan seperti kotak dungu (stupid box), anak ajaib industrialisasi (miracle child of industrialization), ataupun setan jahat (the evil demon) ini tidak lagi sebatas rangkaian benda-benda elektronik yang mampu menghasilkan gambar bergerak (motion pictures) dan suara. Melainkan telah menjadi orang tua kedua bagi anak-anak, guru bagi penontonya, penghibur bagi yang stress dan frustasi, sahabat bagi yang kesepian, juga tempat yang cocok untuk melarikan diri dari kenyataan.

Bahkan di abad keberlimpahan komunikasi ini, televisi telah menjadi "agama baru" dan "tuhan" sekular yang telah merampas hak-hak istimewa agama tradisional untuk membantu para penganutnya mendefinisikan realitas. Dalam artian, perilaku manusia tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tapi telah diatur oleh tayangan-tayangan televisi yang saat ini tengah digerakkan oleh ideologi kapitalisme.

Cobalah kita lihat bagaimana televisi ---lewat sajian acaranya--- berusaha menuntun pemirsanya masuk ke dalam dunia yang penuh identitas, gaya hidup, prestise, dan impian yang dikemas secara komersial dlam paket-paket bisnis berhaluan budaya barat. Para wanita diajarkan menjadi "wanita sesungguhnya" yang bertubuh ramping, berambut panjang-hitam tanpa ketombe, berkulit putih-mulus, lewat pencitraan wanita ideal dalam iklan. Begitupun halnya dengan pecitraan laki-laki ideal bertubuh tinggi dan berbadan besar dengan simbol perut six pack yang belakangan tengah gencar dipromosikan. Alhasil, gempuran citra-citra ideal sebagai standar kehidupan masyarakat zaman kiwari, meminjam istilah Idi Subandy Ibrahim, telah menggiring masyarakat pada budaya pemujaan tubuh (fetishism of body).

Pemirsa diajarkan pula untuk senang berbelanja, pandai memanfaatkan waktu luang untuk bersenang-senang dan berhura-hura. Karena di zaman modern ini, semua itu bukan lagi monopoli kalangan selebritis dan hippies saja. Terlebih seiring semakin cepatnya perkembangan teknologi komunikasi, pemirsa dipaksa untuk cepat pula merespon segala bentuk perkembangannya, karena kalau tidak televisi akan "menertawakan" pemirsanya. Maka tidak heran jika seorang peneliti TV dari Australia, Dr. Philip Kitley (Idi:2004) mengatakan, "belakangan ini televisi menyebarkan secara luas sajian gaya hidup, gaya perilaku, dan representasi diri lebih daripada yang sudah-sudah."

Begitupun dalam memandang kehidupan. Lewat industri gosipnya, televisi seakan membenamkan sebua chip kesadaran dalam benak pemirsa bahwa liku-liku kehidupan selebritis yang remeh-temeh dan serba glamour dianggap lebih perlu diperhatikan dan dipikirkan daripada kehidupan wong cilik yang kini semakin bertambah cilik.

Semua itu merupakan bentuk-bentuk indoktrinasi pendefinisian atas realitas terhadap masyarakat. Dimana, televisi menyuntikkan makna-makna yang seolah ada pada kehidupan nyata, padahal semuanya hanya sebuah fantasi. Sebuah realisme gadungan (pseudo reality). Citra-citra yang ditawarkan televisi telah membentuk ketidaksadaran massal, bahwa telah terjadi pembentukan identitas diri melalui televisi. Alhasil, bukan lagi televisi yang menjadi cermin masyarakat melainkan sebaliknya, masyarakatlah yang menjadi cermin televisi.

Kenapa bisa begitu?

Karena "TV watches you!" ujar Jean Baudrillard, seorang pemikir pasca strukturalis Perancis. Kini televisi bukan jadi objek tontonan manusia tapi sebaliknya, manusialah yang menjadi objek tontonan televisi. Bahkan untuk tingkat tertentu, kata Idi Subandy Ibrahim dalam bukunya Sirnanya Komunikasi Empatik (2004), televisi telah "menertawakan" atau "melecehkan" pemirsanya.

Menurut Idi (2004), fenomena "TV menonton manusia" bisa dijelaskan lewat percepatan dalam pergantian produk komoditas yang terus mengalami peng-estetika-an atau proses estetika komoditas. Hal inilah yang mengakibatkan masyarakat terjerembab pada realitas gadungan bentukan televisi. Sebuah dunia televisi! Masyarakat dijadikan patuh pada hukum komoditi kapitalisme. Sehingga, masyarakat seperti ini hanya menghasilkan apa yang disebut Theodore Ardono (Yasraf:2003) sebagai kebudayaan industri (culture industry), yaitu satu bentuk kebudayaan yang ditujukan untuk massa dan produksinya berdasarkan pada mekanisme kekuasaan sang produser dalam penentuan bentuk, gaya, dan maknanya.

Membangun budaya kritis

Buaian mimpin-mimpi yang dihembuskan ideologi kapitalisme lewat berbagai tayangan televisi dewasa ini harus segera kita sadari sebagai benih-benih berbagai virus patologi modernitas. Tentunya, ketika kita telah menyadarinya sebagai sebuah penyakit yang membahayakan kehidupan sosial manusia, maka penyembuhnya pun harus dilakukan secara bersama-sama yang dimulai lewat program refleksi diri setiap individu masyarakat.

Dalam hal ini, konsep Emotional Quetiont (EQ) yang harus dibina. Karena konon, EQ ini ditentukan oleh kemampuan menahan. Menahan dari segala sesuatu yang dianggap kurang penting. Sebab EQ mensyaratkan hanya yang benar-benar penting dan diperlukan saja yang harus diraih, selain itu kita tahan dulu. Sehingga kita tidak akan terjebak dalam "logika hawa nafsu" yang diproduksi oleh "mesin-mesin hawa nafsu" suguhan televisi. Di mana logika hawa nafsu, rasa ketidakcukupan yang tidak ada habis-habisnya terus menggerogoti seseorang yang mengakibatkan orang tersebut ingin selalu mengkonsumsi barang-barang.

Hal ini bukan berarti kita tidak boleh menonton televisi. Namun dalam hal ini, kita harus menyadari efek negatif dari budaya nonton televisi yang cenderung tanpa memerlukan proses berpikir tidak seperti ketika kita membaca buku atau media cetak lainnya. Karena, ketika imajinasi kita didominasi oleh citra-citra dan simbol-simbol yang disajikan televisi maka bukan mustahil televisi akan mempengaruhi kita dalam memandang sesuatu.

Oleh karena itu, mari lejitkan kecerdasan emosi kita dan bersama-sama membalikkan kembali logika bahwa televisi sebatas objek tontonan manusia. Tidak lebih!

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home