PenulisLepas.com, Situsnya Penulis!

Friday, April 21, 2006

Stop Amplop!

Oleh Fifit RamdhanNugraha



Pers sering disebut-sebut sebagai kekuatan keempat (fourth estate) sebuah negara setelah lembaga Esekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Terlebih di negara-negara yang menganut sistem demokrasi yang memberikan kebebasan pada rakyat untuk menyatakan pendapatnya (free of expression). Hal ini disebabkan oleh daya persuasinya yang kuat dan pengaruhnya yang besar pada masyarakat. Sampai-sampai seorang Napoleon Bonaparte lebih takut pada penah seorang wartawan daripada tentara dengan persenjataan lengkap sekalipun. "Aku lebih takut pada empat surat kabar yang terbit di Paris daripada seratus serdadu dengan senapan bersangkur terhunus," aku Panglima tentara Perancis yang ditakuti itu.

Besarnya pengaruh pers terhadap kehidupan masyarakat tidak serta merta membuat pers bisa bertindak seenak perut. Sebab pers merupakan sebuah lembaga kemasyarakatan yang mempunyai tanggung jawab sosial atau bertanggung jawab pada masyarakat. Ini berarti pers akan membela masyarakat bila pemerintah melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. Sebagaimana salah satu tugas pers (Hinca:2000) yaitu melakukan pengawasan, kritik, dan koreksi terhadap hal-hal yang menyangkut kepentingan publik.

Sebab, bagaimanapun baiknya pelaksanaan pemerintah tak dapat dipastikan tak ada kekurangan atau kesalahan. Memang secara konstitusional tugas untuk melakukan pengawasan kinerja pemerintah ada pada lembaga legislatif dan yudikatif. Namun, seteliti apapun pengawasan yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut, tentu ada saja hal-hal yang tak terawasi. Dalam hubungan inilah pers sebagai perwakilan masyarakat dengan "kekuasaannya" itu mengawasi tindakan atau kinerja pemerintah termasuk dua lembaga lainnya dengan memberi peringatan jika ternyata tak sesuai atau menyimpang dari konstitusi.

Lantah, siapa yang akan mengawasi pers? Toh, walaupun pers sebagai lembaga kontrol dan mempunyai tanggung jawab pada masyarakat, tak ada jaminan bahwa pers terbebas dari penyimpangan-penyimpangan yang dapat merugikan dan meresahkan masyarakat.

Sekelumit pertanyaan di atas sungguh sangat menarik. Kenapa? Sebab pada kenyataannya banyak terjadi penyalahgunaan profesi wartawan. Misalnya, banyak yang mengaku wartawan hanya tapi sebenarnya hanya kedok untuk melakukan tindakan kriminal. Seperti yang dilakukan oleh tiga oknum wartawan terhadap pengusaha dompet asal Margaasih, yang akhirnya ditangkap Satuan Reskrim Polsek Margaasih Kabupaten Bandung beberapa waktu lalu.

Keberadaan wartawan seperti itu sering disebut wartawan bodrex, muntaber (muncul tanpa berita), atau CNN (can nulis-nulis). Sehingga tak heran jika wartawan sebagai pengelola pers oleh sebagian masyarakat dipandang dengan kesan negatif. Jauh dari kesan sebagai pembela dan wakil rakyat. Wartawan kerap dicap sebagai pemeras, pemalak, tukang jual-dedet (menjual secara paksa. pen) barang dan kesan-kesan negatif lainnya.

Profesi wartawan telah menjadi ladang bisnis bagi sebagian orang. Gampangnya orang menerbitkan perusahan pers, membuat jumlah media tak terkontrol. Bahkan tanpa modal cukup, tiap orang bisa mendirikan perusahaan pers. Akibat penerbitan tak dikelola serius, sekali dua kali terbit terus mati. Namun nasib wartawan dibiarkan menggelantung. Akibatnya menjadi wartawan tanpa surat kabar atau sering disebut WTS.

Mereka (wartawan bodrex, muntaber, CNN, dan WTS) memanfaatkan profesi wartawan untuk mencari isi amplop (penghasilan) dari narasumber. Dalih penghasilan pas-pasan di perusahaan penerbitan tempatnya bekerja kerap dijadikan alasan untuk mencari penghasilan tambahan dari amplop. Bahkan lantaran gaji rendah, amplop bukan lagi menjadi penghasilan tambahan melainkan sumber utama.

Kondisi semacam inilah yang membuat banyak wartawan lain yang tak terimbas "kultur amplop" mengeluhkan ulah para wartawan bodrex tadi lantaran tindakan mereka itu membuat profesi wartawan menjadi cemar.

Wartawan sebagai makhluk sosial bekerja bukan untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, atau golongan melainkan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga, masalah amplop merupakan masalah yang sangat serius karena menyangkut masalah idealisme, etika dan profesionalitas. Semua prinsip-prinsip jurnalisme dan kode etik jurnalistik akan dilanggar hanya dengan menerima amplop.

Namun kemudian yang jadi masalah, apakah amplop hanya dipandang sebatas pemberian uang dari narasumber saja? Bagaimana dengan fasilitas-fasilitas lain yang kerap didapatkan oleh wartawan? Apakah "kultur amplop" hanya monopoli wartawan bergaji pas-pasan? Lalu bagaimana dengan wartawan dari penerbitan-penerbitan besar?

Kata-kata amplop memang tidak tertera dalam kode etik wartawan di Indonesia. Hanya saja kata yang dipakai adalah suap atau sogokan.

Dalam pasal 5 Kode Etik Wartawan Indonesia, yang disusun 26 organisasi wartawan pada pertemuan di Bandung tahun 1999, disebutkan, "Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi". Uraian lebih rinci terdapat dalam Kode Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI), salah satu organisasi wartawan yang ikut pertemuan Bandung tersebut. Dalam Pasal 14 Kode Etik Aji disebutkan, "Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan". Dalam penjelasannya, yang dimaksud sogokan adalah semua bentuk berupa uang, barang, atau fasilitas lain yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi jurnalis dalam melakukan kerja jurnalistik.

Pengertian suap lebih dipertegas lagi oleh Ketua Dewan Pers, Atmaskusumah Astraatmadja, (Eriyanto: Pantau.co.id) bahwa semua pemberian dan fasilitas yang diberikan narasumber bisa dikategorikan sebagai amplop. Semua pemberian tersebut, kecil atau besar, menghilangkan independesi wartawan. "Bentuk amplop saat ini memang beragam dan bervariasi dibandingkan tahun 1950-an dulu. Amplop bukan hanya berupa uang yang dimasukkan dalam amplop. Ini yang sering tidak disadari wartawan," kata Astraatmadja.

Dari pengertian tersebut jelas bahwa amplop itu tak selalu harus uang. Ditraktir minum oleh narasumber, diberi fasilitas, biaya transport dan akomodasi yang disediakan oleh narasumber, berbagai jenis rabat atau potongan dari perusahaan, termasuk tiket gratis tanda masuk nonton film atau teater yang dipakai wartawan untuk menulis resensi, semuanya bisa dikategorikan amplop.

Alhasil, mentalitas koruptor dalam bentuk budaya amplop bisa menjangkiti semua wartawan, baik wartawan yang berpenghasil besar maupun pas-pasan.


Tugas bersama

Upaya untuk menghilangkan budaya amplop dalam praktik jurnalistik merupakan tugas dan tanggung jawab semua pihak. Kesadaran wartawan bahwa ia bekerja pada lembaga kemasyarakatan dan mempunyai tanggung jawab scara individu merupakan hal yang utama. Termasuk membangun profesionalitas dalam bekerja. Sebab profesionalitas, seperti yang dikemukakan Hikmat dan Purnama (2005) akan menimbulkan dalam diri wartawan sikap menghormati masyarakat yang diliputnya. Demikian pula, ia akan dapat menjaga martabatnya sendiri karena hanya dengan cara itu ia akan mendapat kepercayaan masyarakat dalam menjalankan tugasnya sebagai wartawan profesional. Sikap profesional dengan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik, maka akan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Sehingga dapat meringankan pekerjaan di lapangan.

Kedua, sikap tegas media massa-nya sendiri dengan mengerluarkan kebijakan tidak memperbolehkan wartawannya menerima amplop. Hal ini bisa dilakukan dengan mencantumkan kebijakan tersebut di bawah masthead seperti yang sudah dilakukan beberapa media massa, "Wartawan kai selalu dibekali tanda pengenal, dan tidak diperkenankan menerima/meminta apa pun dari narasumber," begitu kira-kira bunyi pernyataan dari media massa bersangkutan perihal kebijakannya tentang penolakan terhadap amplop.

Ketiga, narasumber tidak memberikan suatu apa pun selain informasi yang dibutuhkan oleh wartawan. Karena amplop bisa mempengaruhi independensi wartawan. Wartawan bisa menulis secara berimbang jika independen terhadap sumber yang ia tulis. Amplop membuat wartawan bergantung dengan sumber berita. Apalagi bagi orang Indonesia yang menyimpan sikap sungkan: pemberian membuat wartawan enggan untuk menulis hal-hal buruk mengenai narasumber. Liputan dengan biaya dari sumber seperti ongkos naik kendaraan umum, sedikit banyak akan membuat wartawan sungkan terhadap sumber.

Bukankah Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya melarang praktik suap-menyuap, "Barangsiapa yang menyuap dan disuap keduanya akan masuk neraka." (HR. Bukhari-Muslim)

Wallahua'lam bishawab.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home