PenulisLepas.com, Situsnya Penulis!

Friday, January 05, 2007

Education Centre

Obrolan dengan seorang Deni Irwansyah memang tak pernah sia-sia. Selama hampir 3 tahun saya mengenal sosok Deni ini, selama itu pula saya mendapatkan begitu banyak pelajaran yang dapat saya petik. Hari demi hari hidup saya terasa lebih bermakna. Konsep-konsep yang ditawarkannya, walaupun kerap terdengar nyeleneh dan ngawur, selalu berorientasi pengembangan diri, keluarga, masyarakat, dan dunia.

Kemarin, saya kembali diberi kenikmatan oleh Allah SWT untuk ngobrol dengan kang Deni ---sebenarnya saya lebih enak memanggil beliau dengan "akang" daripada "bapak", begitu juga sebaliknya saya lebh enak dipanggil Fifit saja daripada "bapak". Seperti biasa, awalnya kami hanya ngobrol ngaler-ngidul saja. Namun, lama-lama obrolan mulai menjurus pada salah satu topik yang saya pikir itu sebuah gagasan yang sangat luar biasa dan mulia.

"Pak Fit, saya ingin membangun sebuah kawasan pendidikan di Nagreg", kata kang Deni. Saya hanya diam dan mendengarkan saja apa yang sedang kang Deni bicarakan. Terlihat matanya seperti sedang menerawang jauh ke depan. Nada suaranya terdengar begitu lepas, tegas, dan bersemangat. Sesekali kepulan asap rokok keluar dari mulut dan hidungnya. Begitu pula dengan saya.

"Ya seperti LEC yang di Pamoyanan lah! Tapi kalau ini skalanya lebih besar lagi", katanya antusias.

"Mmm....saya pikir itu bagus juga", komentar saya. Agar lebih khusuk dan tidak kedinginan, kedua kaki ini saya angkat ke atas kursi membentuk posisi bersila. Sekali lagi asap rokok keluar dari mulut saya. Kebetulan pagi itu memang sedang turun hujan.

Perlahan-lahan, pembicaraan mulai mengarah pada bentuk kawasan pendidikan itu sendiri. Berbagai hal yang berkaitan dengannya kami bicarakan, seperti kegiatan apa saja yang akan berlangsung di sana, fasilitas pendukung kegiatan, kondisi lingkungannya seperti apa, tak ketinggalan sumber daya manusia yang akan menggerakkannya seperti apa dan siapa saja.

Awalnya kang Deni menginginkan bahwa kawasan pendidikan yang akan dibangun itu menjadi pusat pendidikan bagi para guru dan kepala sekolah. Kang Deni berharap, pusat pendidikan tersebut mampu memberikan paradigma baru tentang konsep pendidikan, visi dan misi pendidikan Indonesia ke depan, dan yang lebih penting adalah sebagai gudang informasi, inovasi, dan kreativitas.

"Pelatihannya harus dilakukan secara intens. Kita undang para pakar inovasi, kreativitas, dan manajemen sebagai pembicara", tegas kang Deni.

Keinginan tersebut muncul dari kesimpulan kami pada obrolan-obrolan sebelumnya bahwa pelatihan-pelatihan yang ditujukan bagi para guru dan kepala sekolah saat ini kurang efektif. Hal ini disebabkan karenan dalam pandangan kami, pelatihan yang ada sekarang lebih banyak menitik beratkan pada hal-hal teknis. Dan yang lebih mengerikan bagi kami, pelatihan-pelatihan tersebut, khususnya yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan hanya sebatas ritual program kerja saja.

"Sebagai wadahnya", lanjut kang Deni, "kita bangun sebuah ruang pertemuan dengan kapasitas 500 orang".

"Ok!" Kami mulai membayangkan dan mereka-reka bentuk ruang pertemuan tersebut.

Dalam ruangan itu deretan kursinya disusun secara apik membentuk anak tangga. Di bagian depan ada panggung kecil tempat para pembicara menyampaikan materi dengan latar belakang white screen. Tata cahaya lampu dibuat seperti di studio-studio televisi. Dindingnya dibuat kedap suara. Sound system-nya akan dibuat seperti di bioskop-bioskop. Dan tentunya lengkap dengan dua WC di sebelah kanan dan kiri ruangan.

Untuk menambah ilmu dan wawasan, akan disediakan sebuah perpustakaan besar yang mengkoleksi ribuan buku dari berbagai disiplin ilmu seperti, pendidikan, filsafat, ekonomi, politik, agama, sosial, budaya, komunikasi, jurnalisme, psikologi, bisnis, manajemen, sastra, musik, dan masih banyak lagi.

Bukan hanya buku yang ada di perpustakaan tersebut. Kami juga menginginkan adanya perpustakaan audio-visual. Maksudnya, kami ingin semua orang belajar tidak hanya dari buku-buku tapi juga belajar dari film-film maupun kaset-kaset positif. Film-film sastra, jurnalisme, dokumenter, maupun film-film pembelajaran bagi siswa SD, SMP, dan SMA. Begitu pun koleksi kaset-kaset positif baik dalam maupun luar negeri.

Suasa perpustakaan akan kami buat seperti suasana rumah. Bangunannya terbuat dari kayu pinus berusia ratusan tahun yang mengkilap. Dipenuhi dengan ornament bergaya alam dan etnik. Dilengkapi dengan beberapa lampu klasik yang menempel di tiang-tiang penyangga. Di tengah-tengah ruangan hadir sebuah sofa berwarna krem yang hangat dipandang. Sebuah bar kecil yang menyediakan kopi, susu, teh manis, termasuk air putih, akan kami tempatkan di ujung sebelah kanan ruangan.

Kami membayangkan kegiatan perpustakaan itu tidaklah statis hanya sekedar tempat membaca buku, menonton film, dan mendengarkan kaset saja. Tapi, perpustakaan itu justru menjadi jantung kehidupan kawasan pendidikan itu sendiri. Di dalamanya ada semacam komunitas-komunitas pencinta buku, film, dan kaset-kaset positif. Komunitas-komunitas itu akan mendiskusikan berbagai topik dari kajian mereka masing-masing. Nantinya, hasil kajian mereka akan disebarkan pada masyarakat. Media penyebaran informasinya bisa melalui majalah dinding, bulletin, buku-buku, atau melalui acara-acara seminar, bedah film, dan lain-lain.

Kebutuhan informasi yang ditunjang dengan keberlimpahan komunikasi dewasa ini membuat kami berpikir untuk menyediakan warung internet. Letak warnet itu akan kami tempatkan di samping kiri perpustakaan. Tujuannya agar semua orang melek akan informasi dan bisa mengikuti perkembangan dunia yang sekarang semakin menggila saja. He...he...keur naraon atuh dunia?!!!

Tidak ketinggalan, untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, kami akan menyediakan kafe. Kehangatan suasan diiringi alunan musik Jazz, reggae, dan sesekali lengkingan musik rock yang keras, akan kami suguhkan untuk melengkapi kenyamanan para pengunjung. Susunan tempat duduk akan kami tata sedemikian rupa, jalinan pepohonan rindang akan menghiasi sekelilingnya, juga kolam ikan lengkap dengan air mancurnya, sehingga kafe itu tidak hanya nyaman untuk memenuhi kebutuhan perut saja tetapi bisa dijadikan tempat yang asyik untuk diskusi, atau sekedar curhat sambil balakecrakan.

Di belakang kawasan pendidikan akan kami bangun gedung olah raga untuk lapangan futsal, bola voli, dan kebugaran jasmani, juga kolam renang tentunya.

Lingkungan berbasis alam menjadi tema utama kawasan pendidikan yang akan kami bangun itu. Lengkap dengan kolam-kolam ikan dan saung-saung kecil untuk beristirahat di samping kanan gedung olah raga, juga sarana out bond seperti yang ada di sekolah alam Dago-Bandung.

Tidak ketinggalan, dan ini yang lebih penting, adalah hadirnya masjid yang cukup besar. Bukan hanya sebagai tempat ritual keagamaan saja melainkan juga berfungsi sebagai Islamic Centre. Visi Islamic Centre ini adalah melahirkan intelektual-intelektual muslim tangguh yang mampu mempengaruhi peradaban dunia (Wahhh....Kerrrennnn!!!). Masjid ini akan kami letakkan tepat di tengah ujung sebelah barat kawasan pendidikan.

Sebenarnya, kawasan pendidikan yang kami cita-citakan tidak sebatas hal-hal di atas saja. Masih banyak hal yang ingin kami bicarakan. Namun kondisinya memaksa kami untuk menghentikan pembicaraan kami. Hujan mulai reda. Langit pun dengan malu-malu mulai cerah. Kami harus berangkat untuk meniti cita-cita kami yang lain.

Mudah-mudahan benar apa yang dikatakan Louis Tendean tempo hari, bahwa impian adalah sesuatu yang benar-benar kita inginkan baik materi maupun non materi, sehingga kita bersedia bekerja keras untuk mewujudkannya. Impian bukan sekedar keinginan, tapi hasrat kita.

"Anda mungkin tidak akan mendapatkan semua yang Anda impikan, namun Anda tidak akan mendapatkan apapun tanpa memimpikannya terlebih dahulu", tegas Louis.

Saya tinggalkan rokok keempat saya di asbak. "Ah, biarkan saja rokok-rokok itu yang melanjutkan obrolan kita, Kang!", batin saya,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home