PenulisLepas.com, Situsnya Penulis!

Saturday, January 27, 2007

Postmodern

Mengintip Dunia “Klik” Postmodern1

Oleh Fifit Ramdhan Nugraha2



Totalitas hidup seseorang (kegembiraan, kesedihan, kesukaan, keberanian, dan sebagainya) ---secara tak sadar--- terperangkap dalam dunia hiperrealisme media, namun apabila seseorang tersebut mencoba melihat media dengan kesadaran, maka ia akan menyadari bahwa apa yang ia saksikan tak lebih dari sebuah fantasi, fiksi, atau fatamorgana ---sebuah kesemuan.”


Yasraf Amir Piliang

Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,

Jalasutra, Bandung, 2003, hlm. 138.




Perlombaan menciptakan teknologi informasi dan komunikasi terbaru saat ini tak sebatas menekankan pada kemampuan produk dan kecanggihan teknologi belaka. Para produsen kini mulai melirik sisi emosi dan perasaan pelanggannya. Kemajuan ini menyebabkan gejolak dan pasang surut emosi pelanggan semakin volatile, naik-turun tak karuan layaknya luncuran roller coaster. Maka tak heran jika perusahaan telepon genggam, Nokia, lebih suka menyebut teknologi yang dipakainya sebagai human technology.

Teknologi bagi Nokia adalah alat yang mengakomodasi kebutuhan emosional manusia untuk berhubungan, sharing pendapat, bercanda, curhat dengan orang lain. Prinsip umum Nokia yang tertera dengan jelas dalam tagline-nya “Connecting People” tersebut mungkin sesuai dengan gagasan filsuf abad ke-20, Martin Heidegger yaitu tentang “mengada-bersama”. Bagi Heidegger, pada 1927, di dalam momen kontak itulah terungkap jalan untuk menjadi manusia: “Manusia membuktikan dirinya sendiri sebagai entitas yang bercakap.”3

Tak hanya Nokia yang memasukkan unsur-unsur emosi dan perasaan pelanggan pada produknya. MSN keluaran Microsoft juga tak kalah emosionalnya. Untuk mempermudah penggunanya mengekspresikan perasaannya, layanan Instant Messenger ini menyediakan fasilitas emoticons. Jika penggunanya sedang bahagia, maka user tinggal menunjukkan perasaan tersebut dengan memilih emoticons yang tersenyum lebar. Kalau sedang marah, emoticons dengan simbol red devil bisa menjadi pilihan.

Begitu pun dengan IDEO. Perusahaan desain terkemuka dunia yang turut membidani produk keluaran Apple, Dell, dan Palm ini bahkan telah membentuk tim khusus dan bekerja sama dengan institusi terkemuka, seperti Massacusset Institute of Technology, untuk mulai merancang masa depan. Sejumlah skenario dikembangkan dan sejumlah teknologi pun dilahirkan untuk mengantisipasi skenario tersebut. Penggodokan sejumlah inovasi ini dirangkul dalam Project 2010. Semua produk yang tengah digodok dalam project tersebut memiliki tema tunggal yaitu teknologi yang mengakomodasi sisi “human” konsumen.

Sebut saja misalnya, produk Kiss Communicator. Teknologi komunikasi yang dikembangkan IDEO ini diperuntukkan bagi mereka yang tengah kasmaran. Yaitu sepasang objek sensual yang dapat menumpahkan emosi seorang kekasih pada pasangannya yang terpisah jauh. Jika sang kekasih ingin pasangannya mengetahui bahwa ia sedang memikirkan dan merindukannya, ia tinggal meniup alat tersebut. Kemudian, alat itu akan berpendar setelah menangkap gerakan tubuh sang kekasih. Kemudian sinyal ini dipancarkan pada pasangannya. Pasangannya tinggal menggenggam alat tersebut dengan kedua telapak tangannya, dan alat ini akan memancarkan kehangatan dan memancarkan sinar berwarna merah jambu.4

Apa yang dilakukan Nokia, MSN, dan IDEO di atas menandakan bahwa kemajuan teknologi komunikasi kini memungkinkan seseorang mengungkapkan dan mengekspresikan emosinya secara cepat bahkan instant, mudah dan praktis, tidak perlu menunggu waktu lama. Kebutuhan natural manusia untuk mengekspresikan rasa sedih, gembira, takjub, kagum, cinta, kangen, ngefans pada seseorang, empati, maupun rasa puas bisa “terbebaskan” hanya dengan beberapa klik mouse computer, beberapa pencetan tombol di ponsel atau tiupan halus seperti pada Kiss Communicator.

Masyarakat kini hidup ditopang oleh sarana teknologi informasi dan komunikasi, dengan kemajuan dahsyat micro processor, memory bank, komputer, dan internetnya. Masyarkat telah berubah menjadi masyarkat komputerisasi5. Dalam masyarakat komputerisasi seperti ini, nilai-nilai serta asumsi-asumsi dasar modernisme, yaitu rasio, hukum sejarah linier, subjek, ego, narasi besar, otonomi, identitas tidak lagi mampu menggambarkan realitas.

Tak ayal, fenomena ini menciptakan sisi lain dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. “Realitas telah menguap!” kata Jean Baudrillard6. Realitas kini tidak sekedar dapat diceritakan, direpresentasikan dan disebarluaskan. Lebih jauh, realitas kini dapat dibuat, direkayasa dan disimulasi. Dalam realitas buatan, segala sesuatu bercampur baur, bersilang-sengkarut. Sehingga, alih-alih memposisikan masyarakat sebagai manusia seutuhnya, malahan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu pemandangan yang sangat mencemaskan. Seolah-olah arah kemajuan berbalik lagi ke belakang dan seakan-akan di balik penampakan berupa kemajuan berlangsunglah proses degenerasi besar-besaran. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi telah menciptakan pergeseran-pergeseran bentuk dan makna dari aktivitas komunikasi itu sendiri melampaui pergeseran teknologis belaka..

Dengan semangat mobilisasi, konsep komunikasi berubah menjadi upaya untuk memenuhi hasrat individu ---suatu keinginan. George Mierson7 mencatat dua ide kunci konsep komunikasi baru dari “Nokia Press Release”, 12 Juli 2000.8 Pertama, skala kesalingterhubungan yang luas; dan kedua, sebaliknya, gagasan tentang kebebasan individu. Bisa berkomunikasi merupakan aspek dasar untuk menjadi bebas. Bahkan, fakta komunikasi itu sendiri adalah pertanda utama kebebasan. Tetapi nada keseluruhan didasarkan pada “mereka ingin” yang senantiasa muncul kembali.

Basis mobilisasi konsep komunikasi, menurut Mierson, yakni suatu aktivitas yang dilakukan individu yang kemudian si individu berusaha untuk mengendalikan aktivitas tersebut. Berada dalam kontrol komunikasi berarti menjadi tuan dari teknologi itu sendiri.


Dengan demikian kita tiba pada bagian anjuran yang terpenting, yang mewujudkan praktik dasar mobilisasi. Komunikasi akan berjalan paling ideal ketika hanya terdapat satu pribadi yang terlibat. (Mierson, 2003:23)9


Dalam pandangan ini, hanya ada satu penjelasan penting berkenaan dengan konsep komunikasi, yaitu Prinsip Keinginan. Ini bukan berarti orang-orang “ingin” berkomunikasi. Sebaliknya, orang-orang berkomunikasi untuk memuaskan keinginan-keinginan lain.

Produk teknologi informasi dan komunikasi yang menerapkan sisi emosi dan perasaan manusia ke dalamnya adalah kunci untuk memuaskan keinginan orang-orang pada umumnya. Ia memberi banyak hal. Hasilnya adalah semacam gambaran kehidupan sehari-hari yang baru dan luar biasa. Lantas, siapa yang berkomunikasi?

Marshall McLuhan dalam dua bukunya, The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962) dan Understanding Media: The Extensions of Man (1964), meramalkan bahwa peralihan teknologi dari era teknologi mekanik ke era teknologi elektronik akan membawa peralihan pula pada fungsi teknologi sebagai perpanjangan badan manusia dalam ruang, menuju perpanjangan sistem syaraf. Menurut McLuhan, perpanjangan ini bersesuaian dengan tahapan-tahapan sejarah. Teknologi percetakan merujuk pada era modernitas, dan teknologi media elektronik merujuk pada era postmodernitas. Namun perkembangan teknologi media elektronik saat ini, dalam bentuknya yang paling canggih dan massif, telah meredusi kandungan pesan media itu sendiri dan menggantikannya dengan permainan bahasa yang bersifat simbolik. Media menjadi sekedar perpanjangan badan manusia, namun tanpa pesan, makna, dan kedalaman. Pesan itu sendiri, kini tidak lebih dari media-media lain.10

Dalam logika perpanjangan badan manusia, mesin ketik adalah perpanjangan tangan manusia, mobil adalah perpanjangan kaki manusia, radio adalah perpanjangan telinga manusia, media cetak adalah perpanjangan mata manusia, dan teknologi televisi, komputer serta internet adalah perpanjangan pusat sistem syaraf manusia.11

Sehingga menurut logika perpanjangan manusia di atas yang berkomunikasi adalah alat-alat komunikasi dan sistemnya itu sendiri. Proses komunikasi dalam masyarakat berteknologi canggih sama sekali tidak memerlukan manusia sebagai pelaku komunikasi. Proses komunikasi sekadar aliran pesan-pesan yang diregistrasi dalam kaitannya dengan biaya finansial. Jadi kita tinggal mengecek ke dalam sistem untuk memenuhi hasrat atau tujuan individual, dan hanya itulah hakikat dari partisipasi individual kita. Jika alat-alat sudah berkonvergensi, mereka akan jauh lebih kompatibel, semakin berkemampuan tinggi untuk membaca pesan satu sama lain.12

Ketika seorang individu hendak mengejar hasrat dan melakukan kontak dengan sistem besar untuk mencapai pemenuhan hasrat, sistem bertindak memberikan tanggapan seakan-akan ia adalah agen manusia sesamanya. Bedanya, sistem itu lebih “cerdas” sekaligus efisien. Ilustrasi menarik yang mampu menggambarkan proses komunikasi tersebut dapat dilihat pada tulisan New York Times, 2 Mei 2000, di bawah ini:


Bayangkan Anda berjalan memasuki toko Bloomingdale dan cukup mengatakan, “Saya beli ini, terima kasih”, yang akan ditanggapi oleh sebuah suara, “harga 220 dollar. Anda sepakat?” Anda kemudia menjawab, “Ya, saya sepakat”. Si mesin menjawab lagi, “terima kasih, selamat bergembira”, dan Anda pun keluar dengan barang belanjaan Anda. (Mierson, 2003:50)13


Di sini kita melihat manusia seolah telah menjadi manusia seutuhnya. Mampu menguasai ruang dan waktu yang dalam perspektif Newtonian bersifat linear dan simultan. Padahal, komunikasi yang berdasarkan hanya untuk mengejar beraneka hasrat individu secara perlahan akan menyeret mereka dalam sebuah sistem besar.

Sebagaimana menurut Gilles Deleuze dan Felix Guattari yang dijelaskan Alfathri Adlin dan Iwan Suryolaksono, bahwa hasrat atau hawa nafsu tidak akan pernah terpenuhi. Ia akan selalu direproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi oleh apa yang disebutnya mesin hasrat (desiring machine) ---istilah yang mereka gunakan untuk menjelaskan reproduksi “perasaan kekurangan” (lack) di dalam diri secara terus-menerus. Sekali hasrat dicoba dipenuhi lewat substitusi objek-objek tidak disebabkan kekurangan alamiah terhadap objek tersebut, akan tetapi “perasaan kekurangan” yang kita produksi dan reproduksi sendiri.14

Perkembangan ilmu dan teknologi tidak saja dapat memperpanjang badan atau pusat sistem syaraf manusia, namun bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi realitas, masa lalu dan nostalgia; menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta melipat realitas sehingga tidak lebih dari sebuah kaca televisi, disket, ataupun internet.15

Lebih jauh, realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan bahkan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas: realitas yang lebih nyata dari yang nyata, semu dan meledak-ledak. Dalam dunia hiperrealitas, objek-objek asli hasil produksi bercampur menjadi satu dengan objek-objek hiperreal yang merupakan hasil reproduksi. Realitas-realitas hiper, seperti media massa, telepon genggam, PDA, Kiss Communicator, Instant Messenger, bermetamorfosa sebagai pengontrol pikiran dan tindak-tanduk manusia.

Dunia hiperrealitas merupakan dunia yang mengasyikkan sekaligus mengerikan. Ia sanggup membawa manusia berfantasi dan berimajinasi sampai titik yang paling tinggi. Menuntunnya secara perlahan pada ekstasi kehidupan. Dan pada saat yang bersamaan bisa menghancurkan hubungan antar manusia yang sudah terjalin baik. Oleh karena dalam kondisi yang seperti ini, manusia telah menganggap objek-objek mati kini sudah memiliki jiwa. Objek-objek mati pada titik ekstremnya sudah bukan lagi kepanjangan manusia, melainkan manusia itu sendiri. Dan manusia sebaliknya adalah objek mati yang digerakkan oleh “manusia” ciptaannya sendiri. Seperti bagaimana seorang teman bisa begitu marahnya hanya gara-gara SMS-nya tidak dibalas. Atau seorang suami mau menceraikan istrinya sebab mendapatkan pesan singkat yang isinya janji bertemu pada “berhala seluler” milik sang isteri.


Referensi


Alfathri Adlin dan Iwan Suryolaksono, Reduksi Konsepsi Manusia: Tinjauan Umum pada Era Pramodernisme, Modernisme, dan Postmodernisme, www.kunci.org.id


George Mierson, Heidegger, Habermas dan Telepon Genggam, Jendela, 2003.


Hermawan Kartajaya, Marketing in Venus, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.


Medhy Aginta Hidayat, Kebudayaan Postmodern Menurut Jean Baudrillard, www.kunci.org.id


Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra.


__________________, Hipersemiotik: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, 1998.




End Notes

1 Tulisan ini diajukan sebagai tugas Ujian Akhir Semester pada mata kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi semester ganjil tahun akademik 2006-2007.

2 Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Bidang Jurnalistik semester 11, kelas A, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

3 George Mierson, Heidegger, Habermas dan Telepon Genggam, Jendela, 2003, hlm. 12.

4 Hermawan Kartajaya, Marketing in Venus, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 12.

5 Sebutan yang diberikan Francois Lyotard untuk menunjuk gejala post-industrial masyarakat Barat menuju the information technology era.

6 Medhy Aginta Hidayat, Kebudayaan Postmodern Menurut Jean Baudrillard, www.kunci.org.id, hlm. 28.

7 George Mierson, op.cit. hlm. 21.

8 “Saat ini, telepon nir-Kabel menyediakan suatu kebebasan berkomunikasi kepada lebih dari 94 juta orang, atau satu dari setiap tiga orang di AS ---kapan pun mereka inginkan, di mana pun mereka ingin”. (Nokia Press Release, 12 Juli 2000)

9 George Mierson, op.cit. hlm. 23.

10 Medhi Aginta Hidayat, op. cit. hlm. 36.

11 Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra, hlm. 192.

12 George Mierson, op.cit. hlm. 32.

13 Ibid, hlm. 50.

14 Alfathri Adlin dan Iwan Suryolaksono, Reduksi Konsepsi Manusia: Tinjauan Umum pada Era Pramodernisme, Modernisme, dan Postmodernisme, www.kunci.org.id, hlm. 12.

15 Yasraf Amir Piliang, op. cit. hlm. 197.

Labels: , , , , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home