PenulisLepas.com, Situsnya Penulis!

Friday, April 27, 2007

Kami Mau Dibawa Kemana?

Tulisan di bawah ini adalah ungkapan kegelisahan seorang siswa terhadap pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia. Saya menerimanya beberapa hari setelah UN untuk SMA selesai. Mudah-mudahan bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua, khususnya bagi para "penguasa" sistem pendidikan.


"Janganlah kamu berputus asa dari Rahmat Allah" (QS. Al Baqoroh)


Ujian Nasional (UN) 2006/2007 kembali menimbulkan kecemasan bagi siswa, guru, dan kepala sekolah. Pasalnya, melihat tahun sebelumnya dengan nilai standar kelulusan 4,25 banyak siswa yang tidak lulus. Apalagi tahun ini dengan nilai standar naik menjadi 5,00. Ditambah lagi, katanya, dengan tidak adanya ujian susulan bagi siswa yang tidak lulus. Mereka harus mengulang belajar satu tahun lagi. Selain itu ada peraturan yang menyatakan nilai mata pelajaran yang tidak di-UAN-kan minimal 7,5.

Karena itulah para siswa, guru, juga pihak sekolah terlihat begitu cemas. Banyak usaha dilakukan untuk "mengantisipasinya" seperti, bimbingan belajar, les tambahan, mengadakan do'a bersama untuk kelulusan anak didiknya, dan sebagainya.

Melihat usaha tersebut, saya acungi jempol karena bernilai positif dan dapat menumbuhkan rasa optimis. Bahkan, di suatu sekolah ---mungkin--- dengan tujuan agar siswanya lebih meningkatkan frekuensi belajar, pihak sekolah memberikan gambaran suasana ujian yang sangat menegangkan. Digambarkan bahwa ketika ujian rentang antar bangku berjarak satu meter, pengawasan super ketat, dan untuk menjamin kerahasian soal ada tim pemantau yang memantau selama ujian berlangsung agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan.

Idealnya jika kita seorang muslim yang berpegang pada pertolongan Allah, hal-hal itu tidak akan menjadikan kita pesimis dan takut. Berapa pun jarak antar bangku dan seketat apa pun pengawasan dari tim pemantau, tidak perlu dijadikan suatu masalah karena bukankah ada Allah yang menolong kita? Bukankah kita hanya bergantung pada-Nya? Bukan pada teman, guru, atau siapa pun!

Tapi memang begitulah manusia, selalu saja lebih mendahulukan rasa takut terhadap hal-hal yang belum terjadi. Mungkin kita harus mempertanyakan kembali keyakinan kita pada Allah. Benarkah kita yakin bahwa Allah akan menolong kita?

Namun kita pun tak menampikan godaan syetan. Syetan senantiasa menghembuskan rasa takut, gundah, gelisah, dan cemas ke dalam hati kita dan ketika hati kita diselimuti oleh perasaan-perasaan itu sengaja atau tidak, lagu lama diputar kembali. Kerahasiaan soal tidak terjaga, para siswa mencari berbagai cara agar dapat memperoleh jawaban, dan pihak sekolah membentuk "Tim Sukses".

Pada kenyataannya saat ujian berlangsung jarak antar bangku tak berbeda dengan saat belajar di kelas, tim pemantau yang katanya independen dan akan mengawasi pelaksaan UN dengan ketat tidak terjadi. Sehingga soal tidak terjamin kerahasiahannya, siswa dengan leluasa bekerja sama saat ujian dan "Tim Sukses" pun bekerja dengan santai.

Padahal ungkapan bahwa "Allah menilai proses/usaha yang kita lakukan bukan hasil yang kita capai" sudah sangat kita ketahui. Lalu kenapa jalan pintas tetap kita lakukan? Bukankah ketika kita sudah memaksimalkan usaha, Allah memberi jalan akhir. "Janganlah kamu berputus asa dari Rahmat Allah ....."?

Sepertinya kita perlu mengevaluasi tujuan pendidikan kita. Seperti yang kita ketahui bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang bukan hanya cerdas secara jasmani tapi juga rohani agar dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa. Tetapi fakta yang terjadi saat ini, lembaga pendidikan ---terutama sekolah--- mempunyai tujuan dapat meluluskan anak didiknya ketika ujian, bagaimana pun caranya. Apalagi jika sekolah tersebut dapat meluluskan anak didiknya 100% maka pandangan masyarakat akan bertambah bagus. Secara tidak langsung, tujuan lembaga pendidikan berbelok menjadi mencari pamor dan label "SEKOLAH BERKUALITAS" atau "SEKOLAH FAVORIT"

Mari kita renungkan bersama........