PenulisLepas.com, Situsnya Penulis!

Thursday, April 27, 2006

Dengan Apa Ada Cinta?

Oleh Fifit Ramdhan Nugraha


Sungguh beruntung saya bisa berkenalan dengan Tonny M. Djamhir. Dia telah banyak membantu saya untuk lebih memahami tentang apa itu cinta. Siapa yang mengkreasi cinta. Dari mana asal usulnya. Bagaimana cinta itu bisa tumbuh dalam hati yang kemudian menggerakkan perasaan, sikap, dan perilaku orang yang sedang dibuai cinta. Bagaimana membedakan antara cinta semu (pseudo love) dan cinta sejati (true love).

Di awal perkenalan dengan Tonny, saya hanya bisa terdiam kaku menerima berondongan kata-katanya mengenai hakekat cinta dalam karyanya Warna-Warna Kegelapan: Misteri Diri Manusia. Setiap kata-katanya seperti aliran listrik yang menempel dan menjalar ke seluruh tubuh. Mendobrak pintu kesadaran saya.

Tonny mengawali pembicaraannya dengan mengutip perkataan Philip B. Applewhite ---entah siapa karena Tonny tidak menjelaskan siapa Philip itu--- bahwa cinta digerakkan oleh kejadian molekuler. Secara biologis, rasa cinta timbul dari proses interaksi molekul dalam tubuh, namun motivasi sosialnya adalah jiwa.

Apakah benar bahwa cinta berkaitan dengan kejadian molekuler dalam tubuh? Menjawab pertanyaan ini Tonny mengambil contoh rasa rindu yang dimiliki manusia. Coba kita dengarkan kata-kata Tonny ini, "Kerinduan, dialah manifestasi rasa cinta pada diri manusia, timbul pada saat seseorang berada jauh dengan orang yang sangat dicintainya, adalah satu contoh peristiwa molekuler cinta dalam tubuh. Kerinduan menimbulkan berbagai persoalan fisik antara lain; hilangnya selera makan, tidur tidak nyenyak, atau kepala menjadi pusing. Fokus pikiran yang kuat terhadap seseorang yang dicintainya merupakan efek dari perbuatan mental, atau peristiwa molekuler".

Lantas setelah memberikan jawab seperti itu, Tonny merumuskan definisi cinta dan menjelaskan hubungannya dengan jiwa. Menurut Tonny, cinta adalah ruh sedang ruh bersifat cahaya, dan cahaya berasal dari nur Muhammad, dari ruh munculah jiwa. "Oleh karena itu jiwa bersifat reseprif (menerima) terhadap nur, termasuk menerima aliran cinta", tulis Tonny.

Karena jiwa bersifat reseptif sedangkan jiwa memiliki dua perspektif, yaitu sisi gelap dan sisi cahaya, maka Tonny pun menguraikan cinta ke dalam dua bagian tersebut yakni, bersifat cinta jasmani (kebendaan) dengan sifat panas dan keras (gelap), kedua bersifat cinta keruhanian dengan sifat sejuk dan lembut (cahaya).

Sifat cinta jasmani Tonny contohkan dalam perbuatan-perbuatan manusia seperti mencintai dirinya sendiri termasuk semua anggota badan yang menimbulkan rasa sempurna pada dirinya. dia jaga anggota badannya dengan baik, kalau sakit dia obati dan sebagainya. Manusia mencintai sanak keluarganya, hartanya, cinta pada keindahan alam, termasuk cinta pada keindahan suara, seni, dan sebagainya. Cinta seperti ini bersifat agresif, berkobar-kobar (emosional), keras, dan rapuh.

Sedangkan sifat cinta keruhanian mempunyai hubungan antara yang tampak dan tidak tampak (subyektif), yaitu cinta yang mendahulukan subyektif dari pada yang tampak seperti, cinta pada kepribadian seseorang lebih utama dari pada objeknya atau keelokan wajah maupun badannya. Cinta seperti ini, menurut Tonny, bersifat halus, dalam, dan abstrak. Dia diliputi cahaya kesadaran, keikhlasan, dan kesabaran.

Usai mendengar 'ceramah' Tonny khususnya perihal pembagian cinta dalam dua sifat di atas, saya sadar bahwa selama ini saya lebih bersemangat mengejar cinta jasmani. Sehingga saya pun terjebak dalam lingkaran pseudo love yang agresif, emosional, keras, rapuh, dan sementara. Kecintaan saya pada diri, lingkungan, bahkan teknologi yang sekarang kian bertambah pesat perkembangannya, justru lambat laun dan tanpa terasa menjadikan semua itu sebagai berhala-berhala baru, bahkan dengan versinya yang lebih modern.

Kecintaan pada diri yang berlebihan ditambah dukungan dengan menjamurnya industri mode dan perkara bagaimana cara berpenampilan telah menjerumuskan saya pada kehausan akan budaya penampilan diri. Bahkan saat ini sudah mulai bergeser secara mendasar pada tubuh. Sebuah budaya yang oleh Idi Subandy Ibrahim, seorang peminat media studies dan culture studies, disindir sebagai budaya pemujaan tubuh (fetishism of body).

Kegelapan jiwa semakin menjadi tatkala kecintaan pada kebendaan lebih mementingkan chasing daripada substansinya. Ujung-ujungnya membuat tujuan hidup di dunia pun menjadi dangkal dan kabur. Saya hanya berpikir bahwa cita-cita hidup itu sebatas dilahirkan, dibesarkan, sekolah, mencari uang sebanyak-banyaknya, menikah, membesarkan anak, dan menikmati masa tua sambil menunggu dijemput Izrail.

Padahal, Tonny menjelaskan bahwa cinta sejati (true love) sebagai puncak keindahan cinta adalah cinta pada Allah SWT, Pemilik segala kebendaan yang kita lihat, dengar, dan rasakan di dunia ini. Allah SWT tidak akan pernah menkhianati cinta hamba-Nya karena Dia Pemilik cinta sejati. Berkat kasih sayang-Nya yang tidak terbatas, manusia hidup di dunia ini dalam damai dan menikmati karunia yang tidak terbatas pula. Allah SWT menciptakan sayur-sayuran, buah-buahan, dan hewan untuk hamba-Nya. Allah SWT menciptakan hujan sehingga hamba-Nya bisa memiliki air yang segar untuk diminum. Tanpa tujuan, tidak akan pernah ada air di bumi. Padahal air sangat penting untuk semua makhluk hidup terutama manusia. Karena manusia tidak bisa bertahan hidup tanpa air selama beberapa hari.

Sedangkan cinta kebendaan yang tidak berdasarkan cinta pada Allah SWT hanya akan mendatangkan kebahagian sementara. Pemilihan hanya pada cinta jasmani, menurut Tonny, akan mengakibatkan manusia harus mengalami penderitaan, kesedihan, kekecewaan, dan keputusasaan oleh sebab cinta. Karena dalam perbuatannya menggunakan sifat yang gelap dan panas sehingga terbakar di dalamnya.

Lalu bagaimana mengetahui 'posisi cinta' saya selama ini. Apakah pada posisi gelap (cinta jasmani) atau posisi cahaya (cinta ruhani)?

Alhamdulillah, ternyata saya kembali beruntung mendapat jawabannya. Kali ini jawaban dari pertanyaan tersebut saya dapatkan dari Apip Muhammad lewat bukunya Pelangi Islam I. Pada bab yang membahasa masalah cinta, Apip menawarkan tips untuk mengetahui 'posisi cinta' saya melalui indikator-indikator cinta secara umum.

Apip menulis sedikitnya ada 5 indikator cinta yang diberikan oleh ulamat terdahulu. Pertama, cinta selalu ditandai dengan ingatan yang selalu hadir pada sesuatu yang dicintainya. Sehingga sang pencinta seringkali menyebut-nyebut sesuatu yang dicintainya itu. Orang yang derajat kecintaannya pada Allah SWT tinggi maka tidak ada sedetik pun waktu yang tertinggal dalam mengingat-Nya. "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan singa, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, seraya mengucapkan: 'Wahai Tuhan kami! Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka hindarkanlah kami dari siksa neraka!'" (QS. Ali Imram, 3:190-191).

Kedua, menyukai (mencintai) apa yang disukai dan membenci apa yang dibenci sesuatu yang dicintainya. Jika Allah SWT menyukai sesuatu untuk dilakukan hamba-Nya maka orang yang benar-benar mencintai Allah SWT akan melaksanakannya dengan penuh keikhlasan walaupun terasa berat dalam melaksanakannya. Begitupun terhadap apa-apa yang dibenci Allah SWT maka akan dijauhinya meskipun itu merupakan sesuatu yang sangat disukainya. "Katakanlah, 'jika kamu (benar-benar) mencintai Allah ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran, 3:31).

Ketiga, rasa rindu. Jauh ingin cepat bertemu dan kalau sudah bertemu tidak mau berpisah. Sungguh, orang yang benar-benar mencintai Allah SWT akan senantiasa mengharapkan datangnya waktu pertemuan. Menghadapkan wajah dan berkomunikasi dengan-Nya merupakan keindahan dan kebahagian tiada tara.

Keempat, cemburu. Seorang kekasih akan cemburu jika ia telah dimadu oleh orang yang mencintai dan dicintainya. Begitupun halnya jika sang pencinta mengkhianati cintanya pada Allah SWT dengan mencintai segala sesuatu melebihi cinta pada-Nya, maka Allah SWT akan cemburu pada sang pencinta itu. Tak ayal lagi predikat syirik akan disematkan padanya.

Kelima, pengabdian dan pengorbanan. Seperti pepatah para pendekat cinta, "gunung-gunung tinggi kan ku daki, lautan luas kan ku sebrangi". Cinta memang membutuhkan pengorbanan untuk memenuhi segala yang disenangi dan disukai sesuatu yang dicintainya. Sekalipun mempertaruhkan nyawa. Onak dan duri yang menghalangi petualangan cinta dianggapnya sebagai hiasan.

Indikator-indikator cinta di atas merupakan barometer untuk mengukur tinggi rendahnya derajat kecintaan manusia pada Allah SWT.

Wah...wah...wah..... kalau melihat indikator-indikator di atas sepertinya saya masih jauh petualangan cinta saya. Tapi mudah-mudahan saya mampu menjalaninya.

Friday, April 21, 2006

Stop Amplop!

Oleh Fifit RamdhanNugraha



Pers sering disebut-sebut sebagai kekuatan keempat (fourth estate) sebuah negara setelah lembaga Esekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Terlebih di negara-negara yang menganut sistem demokrasi yang memberikan kebebasan pada rakyat untuk menyatakan pendapatnya (free of expression). Hal ini disebabkan oleh daya persuasinya yang kuat dan pengaruhnya yang besar pada masyarakat. Sampai-sampai seorang Napoleon Bonaparte lebih takut pada penah seorang wartawan daripada tentara dengan persenjataan lengkap sekalipun. "Aku lebih takut pada empat surat kabar yang terbit di Paris daripada seratus serdadu dengan senapan bersangkur terhunus," aku Panglima tentara Perancis yang ditakuti itu.

Besarnya pengaruh pers terhadap kehidupan masyarakat tidak serta merta membuat pers bisa bertindak seenak perut. Sebab pers merupakan sebuah lembaga kemasyarakatan yang mempunyai tanggung jawab sosial atau bertanggung jawab pada masyarakat. Ini berarti pers akan membela masyarakat bila pemerintah melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. Sebagaimana salah satu tugas pers (Hinca:2000) yaitu melakukan pengawasan, kritik, dan koreksi terhadap hal-hal yang menyangkut kepentingan publik.

Sebab, bagaimanapun baiknya pelaksanaan pemerintah tak dapat dipastikan tak ada kekurangan atau kesalahan. Memang secara konstitusional tugas untuk melakukan pengawasan kinerja pemerintah ada pada lembaga legislatif dan yudikatif. Namun, seteliti apapun pengawasan yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut, tentu ada saja hal-hal yang tak terawasi. Dalam hubungan inilah pers sebagai perwakilan masyarakat dengan "kekuasaannya" itu mengawasi tindakan atau kinerja pemerintah termasuk dua lembaga lainnya dengan memberi peringatan jika ternyata tak sesuai atau menyimpang dari konstitusi.

Lantah, siapa yang akan mengawasi pers? Toh, walaupun pers sebagai lembaga kontrol dan mempunyai tanggung jawab pada masyarakat, tak ada jaminan bahwa pers terbebas dari penyimpangan-penyimpangan yang dapat merugikan dan meresahkan masyarakat.

Sekelumit pertanyaan di atas sungguh sangat menarik. Kenapa? Sebab pada kenyataannya banyak terjadi penyalahgunaan profesi wartawan. Misalnya, banyak yang mengaku wartawan hanya tapi sebenarnya hanya kedok untuk melakukan tindakan kriminal. Seperti yang dilakukan oleh tiga oknum wartawan terhadap pengusaha dompet asal Margaasih, yang akhirnya ditangkap Satuan Reskrim Polsek Margaasih Kabupaten Bandung beberapa waktu lalu.

Keberadaan wartawan seperti itu sering disebut wartawan bodrex, muntaber (muncul tanpa berita), atau CNN (can nulis-nulis). Sehingga tak heran jika wartawan sebagai pengelola pers oleh sebagian masyarakat dipandang dengan kesan negatif. Jauh dari kesan sebagai pembela dan wakil rakyat. Wartawan kerap dicap sebagai pemeras, pemalak, tukang jual-dedet (menjual secara paksa. pen) barang dan kesan-kesan negatif lainnya.

Profesi wartawan telah menjadi ladang bisnis bagi sebagian orang. Gampangnya orang menerbitkan perusahan pers, membuat jumlah media tak terkontrol. Bahkan tanpa modal cukup, tiap orang bisa mendirikan perusahaan pers. Akibat penerbitan tak dikelola serius, sekali dua kali terbit terus mati. Namun nasib wartawan dibiarkan menggelantung. Akibatnya menjadi wartawan tanpa surat kabar atau sering disebut WTS.

Mereka (wartawan bodrex, muntaber, CNN, dan WTS) memanfaatkan profesi wartawan untuk mencari isi amplop (penghasilan) dari narasumber. Dalih penghasilan pas-pasan di perusahaan penerbitan tempatnya bekerja kerap dijadikan alasan untuk mencari penghasilan tambahan dari amplop. Bahkan lantaran gaji rendah, amplop bukan lagi menjadi penghasilan tambahan melainkan sumber utama.

Kondisi semacam inilah yang membuat banyak wartawan lain yang tak terimbas "kultur amplop" mengeluhkan ulah para wartawan bodrex tadi lantaran tindakan mereka itu membuat profesi wartawan menjadi cemar.

Wartawan sebagai makhluk sosial bekerja bukan untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, atau golongan melainkan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga, masalah amplop merupakan masalah yang sangat serius karena menyangkut masalah idealisme, etika dan profesionalitas. Semua prinsip-prinsip jurnalisme dan kode etik jurnalistik akan dilanggar hanya dengan menerima amplop.

Namun kemudian yang jadi masalah, apakah amplop hanya dipandang sebatas pemberian uang dari narasumber saja? Bagaimana dengan fasilitas-fasilitas lain yang kerap didapatkan oleh wartawan? Apakah "kultur amplop" hanya monopoli wartawan bergaji pas-pasan? Lalu bagaimana dengan wartawan dari penerbitan-penerbitan besar?

Kata-kata amplop memang tidak tertera dalam kode etik wartawan di Indonesia. Hanya saja kata yang dipakai adalah suap atau sogokan.

Dalam pasal 5 Kode Etik Wartawan Indonesia, yang disusun 26 organisasi wartawan pada pertemuan di Bandung tahun 1999, disebutkan, "Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi". Uraian lebih rinci terdapat dalam Kode Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI), salah satu organisasi wartawan yang ikut pertemuan Bandung tersebut. Dalam Pasal 14 Kode Etik Aji disebutkan, "Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan". Dalam penjelasannya, yang dimaksud sogokan adalah semua bentuk berupa uang, barang, atau fasilitas lain yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi jurnalis dalam melakukan kerja jurnalistik.

Pengertian suap lebih dipertegas lagi oleh Ketua Dewan Pers, Atmaskusumah Astraatmadja, (Eriyanto: Pantau.co.id) bahwa semua pemberian dan fasilitas yang diberikan narasumber bisa dikategorikan sebagai amplop. Semua pemberian tersebut, kecil atau besar, menghilangkan independesi wartawan. "Bentuk amplop saat ini memang beragam dan bervariasi dibandingkan tahun 1950-an dulu. Amplop bukan hanya berupa uang yang dimasukkan dalam amplop. Ini yang sering tidak disadari wartawan," kata Astraatmadja.

Dari pengertian tersebut jelas bahwa amplop itu tak selalu harus uang. Ditraktir minum oleh narasumber, diberi fasilitas, biaya transport dan akomodasi yang disediakan oleh narasumber, berbagai jenis rabat atau potongan dari perusahaan, termasuk tiket gratis tanda masuk nonton film atau teater yang dipakai wartawan untuk menulis resensi, semuanya bisa dikategorikan amplop.

Alhasil, mentalitas koruptor dalam bentuk budaya amplop bisa menjangkiti semua wartawan, baik wartawan yang berpenghasil besar maupun pas-pasan.


Tugas bersama

Upaya untuk menghilangkan budaya amplop dalam praktik jurnalistik merupakan tugas dan tanggung jawab semua pihak. Kesadaran wartawan bahwa ia bekerja pada lembaga kemasyarakatan dan mempunyai tanggung jawab scara individu merupakan hal yang utama. Termasuk membangun profesionalitas dalam bekerja. Sebab profesionalitas, seperti yang dikemukakan Hikmat dan Purnama (2005) akan menimbulkan dalam diri wartawan sikap menghormati masyarakat yang diliputnya. Demikian pula, ia akan dapat menjaga martabatnya sendiri karena hanya dengan cara itu ia akan mendapat kepercayaan masyarakat dalam menjalankan tugasnya sebagai wartawan profesional. Sikap profesional dengan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik, maka akan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Sehingga dapat meringankan pekerjaan di lapangan.

Kedua, sikap tegas media massa-nya sendiri dengan mengerluarkan kebijakan tidak memperbolehkan wartawannya menerima amplop. Hal ini bisa dilakukan dengan mencantumkan kebijakan tersebut di bawah masthead seperti yang sudah dilakukan beberapa media massa, "Wartawan kai selalu dibekali tanda pengenal, dan tidak diperkenankan menerima/meminta apa pun dari narasumber," begitu kira-kira bunyi pernyataan dari media massa bersangkutan perihal kebijakannya tentang penolakan terhadap amplop.

Ketiga, narasumber tidak memberikan suatu apa pun selain informasi yang dibutuhkan oleh wartawan. Karena amplop bisa mempengaruhi independensi wartawan. Wartawan bisa menulis secara berimbang jika independen terhadap sumber yang ia tulis. Amplop membuat wartawan bergantung dengan sumber berita. Apalagi bagi orang Indonesia yang menyimpan sikap sungkan: pemberian membuat wartawan enggan untuk menulis hal-hal buruk mengenai narasumber. Liputan dengan biaya dari sumber seperti ongkos naik kendaraan umum, sedikit banyak akan membuat wartawan sungkan terhadap sumber.

Bukankah Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya melarang praktik suap-menyuap, "Barangsiapa yang menyuap dan disuap keduanya akan masuk neraka." (HR. Bukhari-Muslim)

Wallahua'lam bishawab.

Thursday, April 13, 2006

Sudikah Kau.....?

oleh Fifit Ramdhan Nugraha


Duhai yang terkasih....

Sudikah kiranya Kau mau mendengar ceritaku. Cerita cucu Adam yang telah melacurkan cinta-Mu. Aku ingin mengeluh pada-Mu. Aku ingin menceritakan keadaanku yang mengenaskan. Terhempas badai dunia.

Duhai yang terkasih....

Sejak pertama kali mengenal-Mu, kubenamkan dalam hati bahwa aku akan selalu mencintai-Mu. Ku-Tuhan-kan Engkau, Pencipta dan Penguasa semua yang ada dan yang tiada. Aku bermaksud untuk mencintai semua yang mencintai dan dicintai-Mu. Ku-nabi-kan kekasih-Mu, Muhammad saw. Kubaca dan ku-suci-kan kalam-Mu. Ku jadikan kiblat bagiku rumah-Mu. Dan kuyakini akan kedatangan hari akhir yang telah Engkau janjikan padaku.

Namun, kian hari aku merasa kian jauh dari-Mu. Kian tak mengenal-Mu bahkan nyaris melupakan-Mu. Dan tanpa malu aku berselingkuh dengan kekasih baruku.

Sungguh ironis diriku.......

Ku-nabi-kan kekasih-Mu, namun yang ku-idola-kan adalah mereka yang memusuhi-Mu dan yang tak pernah mencintai-Mu. Yang ku gugu dan ku tiru adalah tingkah laku mereka yang mentertawakan kekasih-Mu. Ku senantiasa berharap kekasih-Mu memberi syafa'at padaku di hari akhir kelak, namun ku campakkan segala apa yang dicontohkannya padaku. Aku ingin diakui sebagai umat kekasih-Mu, namun tak pernah memperjuangkan apa yang diperjuangkannya.

Ku baca kalam-Mu tiap hari, namun yang ku turuti hanyalah wejangan-wejangan yang senantiasa semakin menjauhkanku dari sisi-Mu. Kubenarkan agama-Mu, namun yang ku dukung dan ku sosialisasikan mati-matian adalah kebenaran manusia yang tak pernah memiliki kebenaran sejati.

Aku senantiasa bersimpuh di atas sajadah menghadap-Mu tiap hari, namun perilaku ku tak pernah mencerminkan sembah sujudku pada-Mu. Waktu yang ku habiskan hanya untuk sesuatu yang semakin mengeraskan hatiku dan melunturkan cintaku pada-Mu.

Duhai yang terkasih....

Walaupun sebenarnya malu ku katakan ini semua. Tapi aku merasa bahwa aku harus mengatakannya. Karena jika tidak, maka aku takkan pernah menyisakan setitik pun keislamanku, kemanusiaanku, keimanan dan kesadaranku. Juga kecintaanku pada-Mu.

Duhai yang terkasih....

Sudikah Kau menerima permohonan maaf dariku. Taubatku atas segala kebodohanku, kedunguanku, ketololanku, keangkuhanku, dan kekurang-ajaranku selama ini. Sehingga aku bisa kembali bersama para kekasih-Mu yang senantiasa mencintai-Mu dengan cintai yang sebenar-benarnya.

Duhai yang terkasih.... Maafkan aku.

Tuesday, April 04, 2006

Buaian Mimpi Televisi

Bagimana jika listrik mati di malam hari? Terlebih ketika kita sedang asyik kumpul bersama keluarga? Tentu saja yang timbul adalah perasaan kesal dan jengkel. Kejengkelannya bukan saja karena keadaan rumah jadi gelap gulita tapi yang lebih parah karena TV kita ikut-ikutan mati. Rasanya, kehidupan ini terasa berhenti kalau TV tidak menyala. Suasana rumah jadi seperti kuburan. Sunyi. Sepi.

Apakah televisi begitu penting dalam kehidupan kita? Sebuah polling yang dilakukan TV Guide menghasilkan kesimpulan yang mengejutkan. Ternyata, satu dari empat orang pemirsa menyatakan mereka begitu lekat pada televisi. Walaupun diberi uang 1 juta dollar untuk tidak menonton televisi mereka tidak mau.

Mengejutkan bukan!

Hasil polling tersebut menggambarkan bahwa televisi telah menjadi bagian hidup dan menyita banyak waktu kita. Bak sebuah sihir, ia menyedot perhatian dan merampas pikiran kita. Lebih dari 20 jam sehari, jutaan pasang mata duduk di depan pesawat televisi, menyaksikan apa pun yang disuguhkannya.

Memang, televisi hanyalah sekotak benda yang hanya memiliki nilai ekonomis tertentu bagi pembuatnya di pabrik-pabrik Sony, Polytron, Samsung, Toshiba, dan juga di pabrik-pabrik lainnya. Tapi ternyata, ketika benda tersebut "dihidupkan", ia berubah menjadi "medium hidup" yang dapat mendikte pemirsa dengan kemampuannya menghipnotis. Sehingga, pemirsa dialienasi dalam agenda setting televisi.

Sekotak benda yang meraih berbagai penghargaan seperti kotak dungu (stupid box), anak ajaib industrialisasi (miracle child of industrialization), ataupun setan jahat (the evil demon) ini tidak lagi sebatas rangkaian benda-benda elektronik yang mampu menghasilkan gambar bergerak (motion pictures) dan suara. Melainkan telah menjadi orang tua kedua bagi anak-anak, guru bagi penontonya, penghibur bagi yang stress dan frustasi, sahabat bagi yang kesepian, juga tempat yang cocok untuk melarikan diri dari kenyataan.

Bahkan di abad keberlimpahan komunikasi ini, televisi telah menjadi "agama baru" dan "tuhan" sekular yang telah merampas hak-hak istimewa agama tradisional untuk membantu para penganutnya mendefinisikan realitas. Dalam artian, perilaku manusia tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tapi telah diatur oleh tayangan-tayangan televisi yang saat ini tengah digerakkan oleh ideologi kapitalisme.

Cobalah kita lihat bagaimana televisi ---lewat sajian acaranya--- berusaha menuntun pemirsanya masuk ke dalam dunia yang penuh identitas, gaya hidup, prestise, dan impian yang dikemas secara komersial dlam paket-paket bisnis berhaluan budaya barat. Para wanita diajarkan menjadi "wanita sesungguhnya" yang bertubuh ramping, berambut panjang-hitam tanpa ketombe, berkulit putih-mulus, lewat pencitraan wanita ideal dalam iklan. Begitupun halnya dengan pecitraan laki-laki ideal bertubuh tinggi dan berbadan besar dengan simbol perut six pack yang belakangan tengah gencar dipromosikan. Alhasil, gempuran citra-citra ideal sebagai standar kehidupan masyarakat zaman kiwari, meminjam istilah Idi Subandy Ibrahim, telah menggiring masyarakat pada budaya pemujaan tubuh (fetishism of body).

Pemirsa diajarkan pula untuk senang berbelanja, pandai memanfaatkan waktu luang untuk bersenang-senang dan berhura-hura. Karena di zaman modern ini, semua itu bukan lagi monopoli kalangan selebritis dan hippies saja. Terlebih seiring semakin cepatnya perkembangan teknologi komunikasi, pemirsa dipaksa untuk cepat pula merespon segala bentuk perkembangannya, karena kalau tidak televisi akan "menertawakan" pemirsanya. Maka tidak heran jika seorang peneliti TV dari Australia, Dr. Philip Kitley (Idi:2004) mengatakan, "belakangan ini televisi menyebarkan secara luas sajian gaya hidup, gaya perilaku, dan representasi diri lebih daripada yang sudah-sudah."

Begitupun dalam memandang kehidupan. Lewat industri gosipnya, televisi seakan membenamkan sebua chip kesadaran dalam benak pemirsa bahwa liku-liku kehidupan selebritis yang remeh-temeh dan serba glamour dianggap lebih perlu diperhatikan dan dipikirkan daripada kehidupan wong cilik yang kini semakin bertambah cilik.

Semua itu merupakan bentuk-bentuk indoktrinasi pendefinisian atas realitas terhadap masyarakat. Dimana, televisi menyuntikkan makna-makna yang seolah ada pada kehidupan nyata, padahal semuanya hanya sebuah fantasi. Sebuah realisme gadungan (pseudo reality). Citra-citra yang ditawarkan televisi telah membentuk ketidaksadaran massal, bahwa telah terjadi pembentukan identitas diri melalui televisi. Alhasil, bukan lagi televisi yang menjadi cermin masyarakat melainkan sebaliknya, masyarakatlah yang menjadi cermin televisi.

Kenapa bisa begitu?

Karena "TV watches you!" ujar Jean Baudrillard, seorang pemikir pasca strukturalis Perancis. Kini televisi bukan jadi objek tontonan manusia tapi sebaliknya, manusialah yang menjadi objek tontonan televisi. Bahkan untuk tingkat tertentu, kata Idi Subandy Ibrahim dalam bukunya Sirnanya Komunikasi Empatik (2004), televisi telah "menertawakan" atau "melecehkan" pemirsanya.

Menurut Idi (2004), fenomena "TV menonton manusia" bisa dijelaskan lewat percepatan dalam pergantian produk komoditas yang terus mengalami peng-estetika-an atau proses estetika komoditas. Hal inilah yang mengakibatkan masyarakat terjerembab pada realitas gadungan bentukan televisi. Sebuah dunia televisi! Masyarakat dijadikan patuh pada hukum komoditi kapitalisme. Sehingga, masyarakat seperti ini hanya menghasilkan apa yang disebut Theodore Ardono (Yasraf:2003) sebagai kebudayaan industri (culture industry), yaitu satu bentuk kebudayaan yang ditujukan untuk massa dan produksinya berdasarkan pada mekanisme kekuasaan sang produser dalam penentuan bentuk, gaya, dan maknanya.

Membangun budaya kritis

Buaian mimpin-mimpi yang dihembuskan ideologi kapitalisme lewat berbagai tayangan televisi dewasa ini harus segera kita sadari sebagai benih-benih berbagai virus patologi modernitas. Tentunya, ketika kita telah menyadarinya sebagai sebuah penyakit yang membahayakan kehidupan sosial manusia, maka penyembuhnya pun harus dilakukan secara bersama-sama yang dimulai lewat program refleksi diri setiap individu masyarakat.

Dalam hal ini, konsep Emotional Quetiont (EQ) yang harus dibina. Karena konon, EQ ini ditentukan oleh kemampuan menahan. Menahan dari segala sesuatu yang dianggap kurang penting. Sebab EQ mensyaratkan hanya yang benar-benar penting dan diperlukan saja yang harus diraih, selain itu kita tahan dulu. Sehingga kita tidak akan terjebak dalam "logika hawa nafsu" yang diproduksi oleh "mesin-mesin hawa nafsu" suguhan televisi. Di mana logika hawa nafsu, rasa ketidakcukupan yang tidak ada habis-habisnya terus menggerogoti seseorang yang mengakibatkan orang tersebut ingin selalu mengkonsumsi barang-barang.

Hal ini bukan berarti kita tidak boleh menonton televisi. Namun dalam hal ini, kita harus menyadari efek negatif dari budaya nonton televisi yang cenderung tanpa memerlukan proses berpikir tidak seperti ketika kita membaca buku atau media cetak lainnya. Karena, ketika imajinasi kita didominasi oleh citra-citra dan simbol-simbol yang disajikan televisi maka bukan mustahil televisi akan mempengaruhi kita dalam memandang sesuatu.

Oleh karena itu, mari lejitkan kecerdasan emosi kita dan bersama-sama membalikkan kembali logika bahwa televisi sebatas objek tontonan manusia. Tidak lebih!