PenulisLepas.com, Situsnya Penulis!

Saturday, January 27, 2007

Postmodern

Mengintip Dunia “Klik” Postmodern1

Oleh Fifit Ramdhan Nugraha2



Totalitas hidup seseorang (kegembiraan, kesedihan, kesukaan, keberanian, dan sebagainya) ---secara tak sadar--- terperangkap dalam dunia hiperrealisme media, namun apabila seseorang tersebut mencoba melihat media dengan kesadaran, maka ia akan menyadari bahwa apa yang ia saksikan tak lebih dari sebuah fantasi, fiksi, atau fatamorgana ---sebuah kesemuan.”


Yasraf Amir Piliang

Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,

Jalasutra, Bandung, 2003, hlm. 138.




Perlombaan menciptakan teknologi informasi dan komunikasi terbaru saat ini tak sebatas menekankan pada kemampuan produk dan kecanggihan teknologi belaka. Para produsen kini mulai melirik sisi emosi dan perasaan pelanggannya. Kemajuan ini menyebabkan gejolak dan pasang surut emosi pelanggan semakin volatile, naik-turun tak karuan layaknya luncuran roller coaster. Maka tak heran jika perusahaan telepon genggam, Nokia, lebih suka menyebut teknologi yang dipakainya sebagai human technology.

Teknologi bagi Nokia adalah alat yang mengakomodasi kebutuhan emosional manusia untuk berhubungan, sharing pendapat, bercanda, curhat dengan orang lain. Prinsip umum Nokia yang tertera dengan jelas dalam tagline-nya “Connecting People” tersebut mungkin sesuai dengan gagasan filsuf abad ke-20, Martin Heidegger yaitu tentang “mengada-bersama”. Bagi Heidegger, pada 1927, di dalam momen kontak itulah terungkap jalan untuk menjadi manusia: “Manusia membuktikan dirinya sendiri sebagai entitas yang bercakap.”3

Tak hanya Nokia yang memasukkan unsur-unsur emosi dan perasaan pelanggan pada produknya. MSN keluaran Microsoft juga tak kalah emosionalnya. Untuk mempermudah penggunanya mengekspresikan perasaannya, layanan Instant Messenger ini menyediakan fasilitas emoticons. Jika penggunanya sedang bahagia, maka user tinggal menunjukkan perasaan tersebut dengan memilih emoticons yang tersenyum lebar. Kalau sedang marah, emoticons dengan simbol red devil bisa menjadi pilihan.

Begitu pun dengan IDEO. Perusahaan desain terkemuka dunia yang turut membidani produk keluaran Apple, Dell, dan Palm ini bahkan telah membentuk tim khusus dan bekerja sama dengan institusi terkemuka, seperti Massacusset Institute of Technology, untuk mulai merancang masa depan. Sejumlah skenario dikembangkan dan sejumlah teknologi pun dilahirkan untuk mengantisipasi skenario tersebut. Penggodokan sejumlah inovasi ini dirangkul dalam Project 2010. Semua produk yang tengah digodok dalam project tersebut memiliki tema tunggal yaitu teknologi yang mengakomodasi sisi “human” konsumen.

Sebut saja misalnya, produk Kiss Communicator. Teknologi komunikasi yang dikembangkan IDEO ini diperuntukkan bagi mereka yang tengah kasmaran. Yaitu sepasang objek sensual yang dapat menumpahkan emosi seorang kekasih pada pasangannya yang terpisah jauh. Jika sang kekasih ingin pasangannya mengetahui bahwa ia sedang memikirkan dan merindukannya, ia tinggal meniup alat tersebut. Kemudian, alat itu akan berpendar setelah menangkap gerakan tubuh sang kekasih. Kemudian sinyal ini dipancarkan pada pasangannya. Pasangannya tinggal menggenggam alat tersebut dengan kedua telapak tangannya, dan alat ini akan memancarkan kehangatan dan memancarkan sinar berwarna merah jambu.4

Apa yang dilakukan Nokia, MSN, dan IDEO di atas menandakan bahwa kemajuan teknologi komunikasi kini memungkinkan seseorang mengungkapkan dan mengekspresikan emosinya secara cepat bahkan instant, mudah dan praktis, tidak perlu menunggu waktu lama. Kebutuhan natural manusia untuk mengekspresikan rasa sedih, gembira, takjub, kagum, cinta, kangen, ngefans pada seseorang, empati, maupun rasa puas bisa “terbebaskan” hanya dengan beberapa klik mouse computer, beberapa pencetan tombol di ponsel atau tiupan halus seperti pada Kiss Communicator.

Masyarakat kini hidup ditopang oleh sarana teknologi informasi dan komunikasi, dengan kemajuan dahsyat micro processor, memory bank, komputer, dan internetnya. Masyarkat telah berubah menjadi masyarkat komputerisasi5. Dalam masyarakat komputerisasi seperti ini, nilai-nilai serta asumsi-asumsi dasar modernisme, yaitu rasio, hukum sejarah linier, subjek, ego, narasi besar, otonomi, identitas tidak lagi mampu menggambarkan realitas.

Tak ayal, fenomena ini menciptakan sisi lain dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. “Realitas telah menguap!” kata Jean Baudrillard6. Realitas kini tidak sekedar dapat diceritakan, direpresentasikan dan disebarluaskan. Lebih jauh, realitas kini dapat dibuat, direkayasa dan disimulasi. Dalam realitas buatan, segala sesuatu bercampur baur, bersilang-sengkarut. Sehingga, alih-alih memposisikan masyarakat sebagai manusia seutuhnya, malahan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu pemandangan yang sangat mencemaskan. Seolah-olah arah kemajuan berbalik lagi ke belakang dan seakan-akan di balik penampakan berupa kemajuan berlangsunglah proses degenerasi besar-besaran. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi telah menciptakan pergeseran-pergeseran bentuk dan makna dari aktivitas komunikasi itu sendiri melampaui pergeseran teknologis belaka..

Dengan semangat mobilisasi, konsep komunikasi berubah menjadi upaya untuk memenuhi hasrat individu ---suatu keinginan. George Mierson7 mencatat dua ide kunci konsep komunikasi baru dari “Nokia Press Release”, 12 Juli 2000.8 Pertama, skala kesalingterhubungan yang luas; dan kedua, sebaliknya, gagasan tentang kebebasan individu. Bisa berkomunikasi merupakan aspek dasar untuk menjadi bebas. Bahkan, fakta komunikasi itu sendiri adalah pertanda utama kebebasan. Tetapi nada keseluruhan didasarkan pada “mereka ingin” yang senantiasa muncul kembali.

Basis mobilisasi konsep komunikasi, menurut Mierson, yakni suatu aktivitas yang dilakukan individu yang kemudian si individu berusaha untuk mengendalikan aktivitas tersebut. Berada dalam kontrol komunikasi berarti menjadi tuan dari teknologi itu sendiri.


Dengan demikian kita tiba pada bagian anjuran yang terpenting, yang mewujudkan praktik dasar mobilisasi. Komunikasi akan berjalan paling ideal ketika hanya terdapat satu pribadi yang terlibat. (Mierson, 2003:23)9


Dalam pandangan ini, hanya ada satu penjelasan penting berkenaan dengan konsep komunikasi, yaitu Prinsip Keinginan. Ini bukan berarti orang-orang “ingin” berkomunikasi. Sebaliknya, orang-orang berkomunikasi untuk memuaskan keinginan-keinginan lain.

Produk teknologi informasi dan komunikasi yang menerapkan sisi emosi dan perasaan manusia ke dalamnya adalah kunci untuk memuaskan keinginan orang-orang pada umumnya. Ia memberi banyak hal. Hasilnya adalah semacam gambaran kehidupan sehari-hari yang baru dan luar biasa. Lantas, siapa yang berkomunikasi?

Marshall McLuhan dalam dua bukunya, The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962) dan Understanding Media: The Extensions of Man (1964), meramalkan bahwa peralihan teknologi dari era teknologi mekanik ke era teknologi elektronik akan membawa peralihan pula pada fungsi teknologi sebagai perpanjangan badan manusia dalam ruang, menuju perpanjangan sistem syaraf. Menurut McLuhan, perpanjangan ini bersesuaian dengan tahapan-tahapan sejarah. Teknologi percetakan merujuk pada era modernitas, dan teknologi media elektronik merujuk pada era postmodernitas. Namun perkembangan teknologi media elektronik saat ini, dalam bentuknya yang paling canggih dan massif, telah meredusi kandungan pesan media itu sendiri dan menggantikannya dengan permainan bahasa yang bersifat simbolik. Media menjadi sekedar perpanjangan badan manusia, namun tanpa pesan, makna, dan kedalaman. Pesan itu sendiri, kini tidak lebih dari media-media lain.10

Dalam logika perpanjangan badan manusia, mesin ketik adalah perpanjangan tangan manusia, mobil adalah perpanjangan kaki manusia, radio adalah perpanjangan telinga manusia, media cetak adalah perpanjangan mata manusia, dan teknologi televisi, komputer serta internet adalah perpanjangan pusat sistem syaraf manusia.11

Sehingga menurut logika perpanjangan manusia di atas yang berkomunikasi adalah alat-alat komunikasi dan sistemnya itu sendiri. Proses komunikasi dalam masyarakat berteknologi canggih sama sekali tidak memerlukan manusia sebagai pelaku komunikasi. Proses komunikasi sekadar aliran pesan-pesan yang diregistrasi dalam kaitannya dengan biaya finansial. Jadi kita tinggal mengecek ke dalam sistem untuk memenuhi hasrat atau tujuan individual, dan hanya itulah hakikat dari partisipasi individual kita. Jika alat-alat sudah berkonvergensi, mereka akan jauh lebih kompatibel, semakin berkemampuan tinggi untuk membaca pesan satu sama lain.12

Ketika seorang individu hendak mengejar hasrat dan melakukan kontak dengan sistem besar untuk mencapai pemenuhan hasrat, sistem bertindak memberikan tanggapan seakan-akan ia adalah agen manusia sesamanya. Bedanya, sistem itu lebih “cerdas” sekaligus efisien. Ilustrasi menarik yang mampu menggambarkan proses komunikasi tersebut dapat dilihat pada tulisan New York Times, 2 Mei 2000, di bawah ini:


Bayangkan Anda berjalan memasuki toko Bloomingdale dan cukup mengatakan, “Saya beli ini, terima kasih”, yang akan ditanggapi oleh sebuah suara, “harga 220 dollar. Anda sepakat?” Anda kemudia menjawab, “Ya, saya sepakat”. Si mesin menjawab lagi, “terima kasih, selamat bergembira”, dan Anda pun keluar dengan barang belanjaan Anda. (Mierson, 2003:50)13


Di sini kita melihat manusia seolah telah menjadi manusia seutuhnya. Mampu menguasai ruang dan waktu yang dalam perspektif Newtonian bersifat linear dan simultan. Padahal, komunikasi yang berdasarkan hanya untuk mengejar beraneka hasrat individu secara perlahan akan menyeret mereka dalam sebuah sistem besar.

Sebagaimana menurut Gilles Deleuze dan Felix Guattari yang dijelaskan Alfathri Adlin dan Iwan Suryolaksono, bahwa hasrat atau hawa nafsu tidak akan pernah terpenuhi. Ia akan selalu direproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi oleh apa yang disebutnya mesin hasrat (desiring machine) ---istilah yang mereka gunakan untuk menjelaskan reproduksi “perasaan kekurangan” (lack) di dalam diri secara terus-menerus. Sekali hasrat dicoba dipenuhi lewat substitusi objek-objek tidak disebabkan kekurangan alamiah terhadap objek tersebut, akan tetapi “perasaan kekurangan” yang kita produksi dan reproduksi sendiri.14

Perkembangan ilmu dan teknologi tidak saja dapat memperpanjang badan atau pusat sistem syaraf manusia, namun bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi realitas, masa lalu dan nostalgia; menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta melipat realitas sehingga tidak lebih dari sebuah kaca televisi, disket, ataupun internet.15

Lebih jauh, realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan bahkan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas: realitas yang lebih nyata dari yang nyata, semu dan meledak-ledak. Dalam dunia hiperrealitas, objek-objek asli hasil produksi bercampur menjadi satu dengan objek-objek hiperreal yang merupakan hasil reproduksi. Realitas-realitas hiper, seperti media massa, telepon genggam, PDA, Kiss Communicator, Instant Messenger, bermetamorfosa sebagai pengontrol pikiran dan tindak-tanduk manusia.

Dunia hiperrealitas merupakan dunia yang mengasyikkan sekaligus mengerikan. Ia sanggup membawa manusia berfantasi dan berimajinasi sampai titik yang paling tinggi. Menuntunnya secara perlahan pada ekstasi kehidupan. Dan pada saat yang bersamaan bisa menghancurkan hubungan antar manusia yang sudah terjalin baik. Oleh karena dalam kondisi yang seperti ini, manusia telah menganggap objek-objek mati kini sudah memiliki jiwa. Objek-objek mati pada titik ekstremnya sudah bukan lagi kepanjangan manusia, melainkan manusia itu sendiri. Dan manusia sebaliknya adalah objek mati yang digerakkan oleh “manusia” ciptaannya sendiri. Seperti bagaimana seorang teman bisa begitu marahnya hanya gara-gara SMS-nya tidak dibalas. Atau seorang suami mau menceraikan istrinya sebab mendapatkan pesan singkat yang isinya janji bertemu pada “berhala seluler” milik sang isteri.


Referensi


Alfathri Adlin dan Iwan Suryolaksono, Reduksi Konsepsi Manusia: Tinjauan Umum pada Era Pramodernisme, Modernisme, dan Postmodernisme, www.kunci.org.id


George Mierson, Heidegger, Habermas dan Telepon Genggam, Jendela, 2003.


Hermawan Kartajaya, Marketing in Venus, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.


Medhy Aginta Hidayat, Kebudayaan Postmodern Menurut Jean Baudrillard, www.kunci.org.id


Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra.


__________________, Hipersemiotik: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, 1998.




End Notes

1 Tulisan ini diajukan sebagai tugas Ujian Akhir Semester pada mata kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi semester ganjil tahun akademik 2006-2007.

2 Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Bidang Jurnalistik semester 11, kelas A, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

3 George Mierson, Heidegger, Habermas dan Telepon Genggam, Jendela, 2003, hlm. 12.

4 Hermawan Kartajaya, Marketing in Venus, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 12.

5 Sebutan yang diberikan Francois Lyotard untuk menunjuk gejala post-industrial masyarakat Barat menuju the information technology era.

6 Medhy Aginta Hidayat, Kebudayaan Postmodern Menurut Jean Baudrillard, www.kunci.org.id, hlm. 28.

7 George Mierson, op.cit. hlm. 21.

8 “Saat ini, telepon nir-Kabel menyediakan suatu kebebasan berkomunikasi kepada lebih dari 94 juta orang, atau satu dari setiap tiga orang di AS ---kapan pun mereka inginkan, di mana pun mereka ingin”. (Nokia Press Release, 12 Juli 2000)

9 George Mierson, op.cit. hlm. 23.

10 Medhi Aginta Hidayat, op. cit. hlm. 36.

11 Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra, hlm. 192.

12 George Mierson, op.cit. hlm. 32.

13 Ibid, hlm. 50.

14 Alfathri Adlin dan Iwan Suryolaksono, Reduksi Konsepsi Manusia: Tinjauan Umum pada Era Pramodernisme, Modernisme, dan Postmodernisme, www.kunci.org.id, hlm. 12.

15 Yasraf Amir Piliang, op. cit. hlm. 197.

Labels: , , , , , ,

Friday, January 05, 2007

Education Centre

Obrolan dengan seorang Deni Irwansyah memang tak pernah sia-sia. Selama hampir 3 tahun saya mengenal sosok Deni ini, selama itu pula saya mendapatkan begitu banyak pelajaran yang dapat saya petik. Hari demi hari hidup saya terasa lebih bermakna. Konsep-konsep yang ditawarkannya, walaupun kerap terdengar nyeleneh dan ngawur, selalu berorientasi pengembangan diri, keluarga, masyarakat, dan dunia.

Kemarin, saya kembali diberi kenikmatan oleh Allah SWT untuk ngobrol dengan kang Deni ---sebenarnya saya lebih enak memanggil beliau dengan "akang" daripada "bapak", begitu juga sebaliknya saya lebh enak dipanggil Fifit saja daripada "bapak". Seperti biasa, awalnya kami hanya ngobrol ngaler-ngidul saja. Namun, lama-lama obrolan mulai menjurus pada salah satu topik yang saya pikir itu sebuah gagasan yang sangat luar biasa dan mulia.

"Pak Fit, saya ingin membangun sebuah kawasan pendidikan di Nagreg", kata kang Deni. Saya hanya diam dan mendengarkan saja apa yang sedang kang Deni bicarakan. Terlihat matanya seperti sedang menerawang jauh ke depan. Nada suaranya terdengar begitu lepas, tegas, dan bersemangat. Sesekali kepulan asap rokok keluar dari mulut dan hidungnya. Begitu pula dengan saya.

"Ya seperti LEC yang di Pamoyanan lah! Tapi kalau ini skalanya lebih besar lagi", katanya antusias.

"Mmm....saya pikir itu bagus juga", komentar saya. Agar lebih khusuk dan tidak kedinginan, kedua kaki ini saya angkat ke atas kursi membentuk posisi bersila. Sekali lagi asap rokok keluar dari mulut saya. Kebetulan pagi itu memang sedang turun hujan.

Perlahan-lahan, pembicaraan mulai mengarah pada bentuk kawasan pendidikan itu sendiri. Berbagai hal yang berkaitan dengannya kami bicarakan, seperti kegiatan apa saja yang akan berlangsung di sana, fasilitas pendukung kegiatan, kondisi lingkungannya seperti apa, tak ketinggalan sumber daya manusia yang akan menggerakkannya seperti apa dan siapa saja.

Awalnya kang Deni menginginkan bahwa kawasan pendidikan yang akan dibangun itu menjadi pusat pendidikan bagi para guru dan kepala sekolah. Kang Deni berharap, pusat pendidikan tersebut mampu memberikan paradigma baru tentang konsep pendidikan, visi dan misi pendidikan Indonesia ke depan, dan yang lebih penting adalah sebagai gudang informasi, inovasi, dan kreativitas.

"Pelatihannya harus dilakukan secara intens. Kita undang para pakar inovasi, kreativitas, dan manajemen sebagai pembicara", tegas kang Deni.

Keinginan tersebut muncul dari kesimpulan kami pada obrolan-obrolan sebelumnya bahwa pelatihan-pelatihan yang ditujukan bagi para guru dan kepala sekolah saat ini kurang efektif. Hal ini disebabkan karenan dalam pandangan kami, pelatihan yang ada sekarang lebih banyak menitik beratkan pada hal-hal teknis. Dan yang lebih mengerikan bagi kami, pelatihan-pelatihan tersebut, khususnya yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan hanya sebatas ritual program kerja saja.

"Sebagai wadahnya", lanjut kang Deni, "kita bangun sebuah ruang pertemuan dengan kapasitas 500 orang".

"Ok!" Kami mulai membayangkan dan mereka-reka bentuk ruang pertemuan tersebut.

Dalam ruangan itu deretan kursinya disusun secara apik membentuk anak tangga. Di bagian depan ada panggung kecil tempat para pembicara menyampaikan materi dengan latar belakang white screen. Tata cahaya lampu dibuat seperti di studio-studio televisi. Dindingnya dibuat kedap suara. Sound system-nya akan dibuat seperti di bioskop-bioskop. Dan tentunya lengkap dengan dua WC di sebelah kanan dan kiri ruangan.

Untuk menambah ilmu dan wawasan, akan disediakan sebuah perpustakaan besar yang mengkoleksi ribuan buku dari berbagai disiplin ilmu seperti, pendidikan, filsafat, ekonomi, politik, agama, sosial, budaya, komunikasi, jurnalisme, psikologi, bisnis, manajemen, sastra, musik, dan masih banyak lagi.

Bukan hanya buku yang ada di perpustakaan tersebut. Kami juga menginginkan adanya perpustakaan audio-visual. Maksudnya, kami ingin semua orang belajar tidak hanya dari buku-buku tapi juga belajar dari film-film maupun kaset-kaset positif. Film-film sastra, jurnalisme, dokumenter, maupun film-film pembelajaran bagi siswa SD, SMP, dan SMA. Begitu pun koleksi kaset-kaset positif baik dalam maupun luar negeri.

Suasa perpustakaan akan kami buat seperti suasana rumah. Bangunannya terbuat dari kayu pinus berusia ratusan tahun yang mengkilap. Dipenuhi dengan ornament bergaya alam dan etnik. Dilengkapi dengan beberapa lampu klasik yang menempel di tiang-tiang penyangga. Di tengah-tengah ruangan hadir sebuah sofa berwarna krem yang hangat dipandang. Sebuah bar kecil yang menyediakan kopi, susu, teh manis, termasuk air putih, akan kami tempatkan di ujung sebelah kanan ruangan.

Kami membayangkan kegiatan perpustakaan itu tidaklah statis hanya sekedar tempat membaca buku, menonton film, dan mendengarkan kaset saja. Tapi, perpustakaan itu justru menjadi jantung kehidupan kawasan pendidikan itu sendiri. Di dalamanya ada semacam komunitas-komunitas pencinta buku, film, dan kaset-kaset positif. Komunitas-komunitas itu akan mendiskusikan berbagai topik dari kajian mereka masing-masing. Nantinya, hasil kajian mereka akan disebarkan pada masyarakat. Media penyebaran informasinya bisa melalui majalah dinding, bulletin, buku-buku, atau melalui acara-acara seminar, bedah film, dan lain-lain.

Kebutuhan informasi yang ditunjang dengan keberlimpahan komunikasi dewasa ini membuat kami berpikir untuk menyediakan warung internet. Letak warnet itu akan kami tempatkan di samping kiri perpustakaan. Tujuannya agar semua orang melek akan informasi dan bisa mengikuti perkembangan dunia yang sekarang semakin menggila saja. He...he...keur naraon atuh dunia?!!!

Tidak ketinggalan, untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, kami akan menyediakan kafe. Kehangatan suasan diiringi alunan musik Jazz, reggae, dan sesekali lengkingan musik rock yang keras, akan kami suguhkan untuk melengkapi kenyamanan para pengunjung. Susunan tempat duduk akan kami tata sedemikian rupa, jalinan pepohonan rindang akan menghiasi sekelilingnya, juga kolam ikan lengkap dengan air mancurnya, sehingga kafe itu tidak hanya nyaman untuk memenuhi kebutuhan perut saja tetapi bisa dijadikan tempat yang asyik untuk diskusi, atau sekedar curhat sambil balakecrakan.

Di belakang kawasan pendidikan akan kami bangun gedung olah raga untuk lapangan futsal, bola voli, dan kebugaran jasmani, juga kolam renang tentunya.

Lingkungan berbasis alam menjadi tema utama kawasan pendidikan yang akan kami bangun itu. Lengkap dengan kolam-kolam ikan dan saung-saung kecil untuk beristirahat di samping kanan gedung olah raga, juga sarana out bond seperti yang ada di sekolah alam Dago-Bandung.

Tidak ketinggalan, dan ini yang lebih penting, adalah hadirnya masjid yang cukup besar. Bukan hanya sebagai tempat ritual keagamaan saja melainkan juga berfungsi sebagai Islamic Centre. Visi Islamic Centre ini adalah melahirkan intelektual-intelektual muslim tangguh yang mampu mempengaruhi peradaban dunia (Wahhh....Kerrrennnn!!!). Masjid ini akan kami letakkan tepat di tengah ujung sebelah barat kawasan pendidikan.

Sebenarnya, kawasan pendidikan yang kami cita-citakan tidak sebatas hal-hal di atas saja. Masih banyak hal yang ingin kami bicarakan. Namun kondisinya memaksa kami untuk menghentikan pembicaraan kami. Hujan mulai reda. Langit pun dengan malu-malu mulai cerah. Kami harus berangkat untuk meniti cita-cita kami yang lain.

Mudah-mudahan benar apa yang dikatakan Louis Tendean tempo hari, bahwa impian adalah sesuatu yang benar-benar kita inginkan baik materi maupun non materi, sehingga kita bersedia bekerja keras untuk mewujudkannya. Impian bukan sekedar keinginan, tapi hasrat kita.

"Anda mungkin tidak akan mendapatkan semua yang Anda impikan, namun Anda tidak akan mendapatkan apapun tanpa memimpikannya terlebih dahulu", tegas Louis.

Saya tinggalkan rokok keempat saya di asbak. "Ah, biarkan saja rokok-rokok itu yang melanjutkan obrolan kita, Kang!", batin saya,